BAB
I
KEBUTUHAN
MANUSIA TERHADAP AGAMA
A.
Definisi
Agama
Secara etimologis Agama
berasal dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti
“tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang
terpadu, kata agama berarti “tidak pergi”, tetap di tempat, langgeng, abadi
yang diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi yang
lainnya.
Pada
semua definisi tersebut di atas, ada satu hal yang menjadi kesepakatan semua,
yaitu kepercayaan akan adanya sesuatu yang agung di luar alam. Dari sini, kita
bisa menyatakan bahwa agama memiliki tiga bagian yang tidak terpisah,
yaitu akidah (kepercayaan hati), syari'at (perintah-perintah dan larangan
Tuhan) dan akhlak (konsep untuk meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat
kepada-Nya).
B.
Kebutuhan
Manusia Terhadap Agama
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan
ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan
hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta pertolongan
kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan itu. Naluriah ini membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan
membutuhkan Sang Khaliknya.
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan manusia memerlukan agama. Yaitu:
a.
Faktor
Kondisi Manusia
b.
Faktor
Status Manusia
c.
Faktor
Struktur Dasar Kepribadian
Dalam
teori psikoanalisis Sigmun Freud membagi struktur kepribadian manusia dengan
tiga bagian. Yaitu: (1). Aspek
Das es yaitu aspek biologis. Aspek ini merupakan sistem yang orisinal dalam
kepribadian manusia yang berkembang secara alami dan menjadi bagian yang
subjektif yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif.
(2). Aspek das ich, yaitu aspek psikis
yang timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
(3). Aspek das uber ich, aspek sosiologis
yang yang mewakili nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat.
Selain
faktor yang dimiliki manusia dalam memerlukan agama ada juga alasan mengapa
manusia perlu beragama. Alasan tersebut secara singkat dapat
dikemukakan sebagai berikut, yaitu :
1. Latar
Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya yang
berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan,
bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as. menyebutkan bahwa
mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat
oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya.
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan
agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga
memiliki kekurangan. Hal ini antara laian diungkapkan oleh kata Al-Nafs.
Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah
dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat
kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia
2. Tantangan
Manusia
Faktor
lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia adalah
dalam kehidupan senantiasa menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun
dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan
bisikan syetan sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan
upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan
manusia dari Tuhan.
C. Fungsi
Agama Dalam Kehidupan
Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi
segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang
pencipta alam semesta sehingga peraturan yang dibuatNya betul-betul adil.
Secara terperinci agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari: aspek
keagamaan (religius), kejiwaan (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis),
hakkekat kemanusiaan (human nature), asal usulnya (antropologis)
dan moral (ethics).
Dari segi pragmatisme,
seseorang menganut suatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi
kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi
dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa
yang diuraikan di bawah ini:
a.
Memberi
pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
b.
Menjawab
pelbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
c.
Memainkan
fungsi peranan sosial.
d.
Memberi
rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
BAB II
KEDUDUKAN DAN FUNGSI MANUSIA SEBAGAI
KHALIFAH, SEBAGAI HAMBA, & SEBAGAI PEMBANGUN
A.HAKEKAT
MANUSIA MENURUT ISLAM
Manusia
diciptakan ALLAH SWT berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nuftah, alaqah
dan mudqah sehingga menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai
kemampuan. Oleh karena itu, menusia wajib bersyukur atas karunia yang telah
diberikan ALLAH SWT. Al-Quran menerangkan bahwa manusia
berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam unsur kimiawi yang
terdapat dari tanah. Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari
tanah umumnya dipahami secara lahiriah. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa
manusia benar-benar dari tanah, dengan asumsi karena Tuhan berkuasa, maka
segala sesuatu dapat terjadi.
B
.KARAKTERISTIK MANUSIA
Diantara
karakteristik manusia:
1.
Aspek kreasi
2.
Aspek ilmu
3.
Aspek
kehendak
4.
Pengarahan
akhlak
C.FUNGSI DAN PERANAN
MANUSIA
Berpedoman kepada QS Al Baqoroh 30-36, maka peran
yang dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran allah dan sekaligus pelopor dalam
membudayakan ajaran Allah.
Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi
pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai dari diridan
keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah
sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya adalah :
1. Belajar (surat An naml :
15-16 dan Al Mukmin :54)
2. Mengajarkan ilmu (al
Baqoroh : 31-39)
3. Membudayakan ilmu (al
Mukmin : 35 )
D.TUJUAN
PENCIPTAAN MANUSIA
1. sebagai khalifah
2. beribadah
Tujuan
ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah).
a.
untuk mencapai kesenangan hidup di dunia.
b.
untuk mencapai ketenangan hidup di akhirat.
Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia
dan akhirat.
Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga
hal:
Pertama,
membina diri dengan baik.
Kedua,
dalam rangka mensucikan diri kita.
Ketiga,
mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan
mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.
·
Golongan Manusia
Sebagai Hamba ALLAH dan Khalifah-Nya
Pembagian manusia sebagai hamba Tuhan
sekaligus khalifah-Nya adalah seperti berikut:
1. Golongan yang tidak tahu atau tidak sadar
yang mereka itu hamba Tuhan dan khalifah-Nya.
Mereka ini adalah golongan yang tidak tahu, tidak sadar atau tidak mengambil tahu apakah dirinya hamba dan khalifah Allah atau tidak karena mereka tidak beriman dengan Al Quran dan As Sunnah. Mereka itulah golongan orang-orang kafir.
Mereka ini adalah golongan yang tidak tahu, tidak sadar atau tidak mengambil tahu apakah dirinya hamba dan khalifah Allah atau tidak karena mereka tidak beriman dengan Al Quran dan As Sunnah. Mereka itulah golongan orang-orang kafir.
2. Golongan yang tahu bahwa mereka adalah
hamba dan khalifah Allah di bumi tetapi rasa kehambaan dan kekhalifahannya
tidak ada atau tidak wujud. Golongan ini tahu dan sadar bahawa mereka adalah
hamba Allah dan khalifah-Nya di bumi tetapi karena jahil, lemah melawan hawa
nafsu, cinta dunianya begitu kuat, kepentingan peribadinya terlalu banyak, maka
yang demikian rasa kehambaannya kepada Allah begitu lemah.
3. Golongan yang merasa kehambaan dan
kekhalifahan kepada Allah di bumi. Rasa kehambaan dan rasa kekhalifahannya
kepada Allah itu kuat. Oleh itu mereka dapat melahirkan sifat-sifat kehambaan
serta memperhambakan diri kepada Allah dengan membaiki yang fardhu dan sunat
Itulah golongan orang yang soleh. Mereka boleh dibahagikan kepada beberapa
bahagian pula iaitu:
a. Golongan yang sederhana (golongan ashabul
yamin)
b. Golongan muqarrobin
c. Golongan as siddiqin
4. Golongan yang sifat kehambaannya dan
memperhambakan diri kepada Allah lebih menonjol daripada kekhalifahannya
kepada Allah. Maksudnya mereka yang dari golongan orang soleh tadi, ada di
kalangan mereka, penumpuannya kepada beribadah kepada Allah lebih terlihat dan
menonjol dengan menghabiskan masa beribadah, membanyakkan fadhoilul ‘amal,
berzikir.
5. Golongan yang sifat kekhalifahannya kepada
Allah lebih menonjol daripada sifat kehambaannya Mereka ini yang biasanya
diberi tanggungjawab kepimpinan dan mengurus kemasyarakatan oleh orang karena
karisma dan sifat-sifat kepimpinan mereka yang menonjol.
6. Golongan yang rasa kehambaannya dan
kekhalifahannya sama-sama menonjol. Golongan ini adalah mereka yang menjadi
pemimpin baik itu pemimpin-pemimpin negeri, negara atau empayar yang
menjalankan hukum-hukum Allah di dalam kepimpinannya. Mereka ini sibuk
sungguh dan menghabiskan waktu untuk memimpin dan beribadah. Sibuk dengan
masyarakat, sibuk juga dengan Allah.
BAB
III
AGAMA
SAMAWI DAN AGAMA ARDHY
Pengertian Agama Samawi dan Agama Ardiy
Menurut
sumber ajaran suatu agama, agama-agama tersebut dapat dibagi menjadi dua,
yaitu;
1. Agama
Samawi
Agama samawi atau disebut juga agama langit,
adalah agama yang dipercaya oleh para pengikutnya dibangun berdasarkan wahyu
Allah.
2. Agama
Ardly
Agama Ardly sendiri adalah Suatu faham yang
berasal dari suatu tradisi, adat istiadat yang harus dilestarikan.
Karakteristik Agama Samawi
dan Agama Ardhi
Ada beberapa ciri dan karakteristik utama
yang membedakan antara agama samawi dan agama ardhi, berikut ini akan sebutkan
beberapa di antaranya saja yaitu :
1) Bukan
tumbuh dari masyarakat, tapi diturunkan untuk masyarakat
Agama samawi tidak diciptakan oleh manusia
lewat kontemplasi atau perenungan. Berbeda dengan agama Budha, yang diciptakan
oleh Sidharta Gautama. Sang Budha konon dahulu duduk merenung di bawah pohon
Bodi, lalu mendapatkan temuan-temuan berupa nilai-nilai kehidupan, yang
kemudian dijadikan sebagai dasar agama itu.
Demikian juga, agama samawi
sangat jauh berbeda dengan konsep pengertian agama menurut beberapa ilmuwan
barat, yang memandang bahwa asalkan sudah mengandung pengabdian kepada suatu
kekuatan tertentu, atau ada ajaran tertentu, atau ada penyembahan tertentu,
maka sudah bisa disebut agama.
Sementara
konsep agama samawi adalah sebuah paket ajaran lengkap yang turun dari langit.
Kata samawi mengacu kepada arti langit, karena tuhan itu ada di atas langit
menurunkan wahyu. Wahyu bukan sekedar kata-kata ghaib atau magis, melainkan
berisi hukum dan undang-undang yang mengatur semua tatanan hidup manusia, mulai
dari masalah yang paling kecil hingga yang paling besar. Dari masalah mikro
sampai masalah makro.
Agama
samawi tidak pernah menciptakan sendiri ajarannya, tetapi menerima ajaran itu
dari atas langit begitu saja. Berbeda dengan agama ardhi, di mana ajarannya
memang diciptakan, disusun, dibuat dan diolah oleh sesama makhluk penghuni
bumi, manusia.
1.
Disampaikan oleh manusia pilihan Allah,
utusan itu hanya menyampaikan bukan menciptakan
Karena
agama samawi datang dari tuhan yang ada di langit, dan tuhan tidak menampakkkan
diriNya secara langsung, maka agama samawi mengenal konsep kenabian.
2.
Memiliki kitab suci yang bersih dari campur
tangan manusia
Perbedaan
lainnya lagi antara agama samawi dan agama ardhi adalah bahwa tiap agama samawi
memiliki kitab suci yang turun dari langit. Kitab suci itu datang langsung dari
tuhan, bukan hasil ciptaan manusia
Sedangkan
agama ardhi seperti Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan lainnya, meski juga
punya kitab yang dianggap suci, namun bukan wayhu yang turun dari langit. Kitab
yang mereka anggap suci itu hanyalah karangan dari para pendeta, rahib, atau
pun pendiri agama itu. Bukan wayhu, bukan firman, bukan kalamullah, bukan
perkataan tuhan.
3.
Konsep tentang Tuhannya adalah tauhid
Agama
samawi selalu mengajarkan konsep ketauhidan, baik Islam, yahudi atau pun
nasrani. Tuhan itu hanya satu, bukan dua atau tiga, apalagi banyak.Sedangkan
agama ardhi umumnya punya konsep bahwa tuhan itu ada banyak. Walau pun ada yang
paling besar dan senior, tetapi masih dimungkinkan adanya tuhan-tuhan selain
tuhan senior itu, yang boleh disembah, diagungkan, diabdi dan dijadikan
sesembahan oleh manusia.
Konsep
bertuhan kepada banyak objek ini dikenal dengan istilah polytheisme. Agama dan
kepercayaan yang beredar di Cina telah mengarahkan bangsa itu kepada
penyembahan dewa-dewa. Ada dewa api, dewa air, dewa hujan, dewa tanah, dewa
siang, dewa malam, bahkan ada dewa yang kerjanya minum khamar, dewa mabok.
Agama
samawi datang menolak semua konsep tuhan banyak dan beranak
pinak. Dalam konsep agama samawi, tuhan hanya satu. Dia Maha Sempurna, tidak
sama dengan manusia, Maha Agung dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan.
Selain tuhan yang satu, tidak ada apa pun yang boleh disembah. Maka tidak ada
paganisme (paham kedewaaan) dalam agama samawi.
Penyimpangan Nasrani dan
Yahudi dari Karakteristik Agama Samawi
Sebagai
agama samawi, agama nasrani dan yahudi awalnya memenuhi 4 kriteria di atas.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, satu persatu karakteristik itu tanggal
dan lenyap. Sepeninggal para nabi mereka, keadaan menjadi berubah 180 derajat.
1) Agama
Diciptakan oleh Tokoh Agama
2)
Menyembah Nabi dan Orang Shalih
3) Memalsukan Kitab Suci
BAB IV
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM POKOK
AGAMA ISLAM
1. Pengertian Al Quran
Menurut
bahasa, kata Al Quran berasal dari kata qaraa yang berarti bacaaan, kumpulan
atau himpunan.
Menurut
istilah Al Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril dalam Bahasa Arab, merupakan mukjizat Rasulullah,
diajarkan secara mutawattir dari genersi ke generasi, dimulai dari surat Al
Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas, membacanya merupakan ibadah serta
terjaga dari perubahan dan pergantian.
2. Kodifikasi Al Quran
Al
Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak sekaligus melainkan Al Quran
turun secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Urutan Al Quran pada saat turun dari langit bumi tidak sebagai mana susunan
yang ada sekarang, tetapi turun terpisah-pisah. Ada ayat yang turun karena
suatu sebab (Asbab An nuzul) namun ada juga ayat yang turun tanpa suatu sebab
apapun.
Kodifikasi
Al Quran, pada dasarnya telah dilakukan pada saat Rasulullah masih hidup hanya
saja, pengumpulan Al Quran dalam bentuk susunan ayat dan surat dengan sempurna
belum dilakukan. Hingga pada saat pemerintahan Khalifah Abu Bakar banyak Hafidz
(para sahabat yang menghafal Al Quran) yang gugur dalam peperangan melawan
orang-orang murtad, sehingga Abu Bakar mulai melakukan usaha pengumpulan Al
Quran, Khalifah Abu Bakar membentuk panitia penyusunan mushaf Al Quran Abi
Thalib, Zaid bin Tsabit, Umayah bin Ka’ab dan Usman bin Affan.
3.
Nama – nama dan
Kandungan Al Quran
a) Al Kitab
Al
Kitab berarti sesuatu yang ditulis.
b) Al Furqan
Al
Furqan atrinya pembeda atau pemisah.
c) Adz Dzikri
Adz
Dzikri artinya peringatan.
d) Al Huda
Al
Huda artinya petunjuk.
e) Al Kalam
Al
Kalam artinya ucapan atau pembicaraan.
f) Al Nur
An
Nur artinya cahaya.
g) Asy Syifa
As
Syifa artinya obat atau penawar.
2. Kandungan Al Quran
Isi
kandungan Al Quran. Diantaranya adalah:
Menurut
Drs. Ali Anwar Yusuf, M. Si. dalam bukunya, secara garis besar Al Quran
mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip keimanan
b. Prinsip-prinsip syariah
c. Prinsip-prinsip ibadah
d. Prinsip-prinsip akhlak atau etika
e. Janji dan ancaman
f. Sejarah kisah-kisah masa
lalu
g. Ilmu pengetahuan.
3. Fungsi Al qu’ran
1. Petunjuk bagi Manusia
2. Sumber pokok ajaran islam.
3. Peringatan dan pelajaran bagi
manusia.
4. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad
saw.
4. Tujuan Pokok Al-Quran
1.
Petunjuk akidah dan
kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan
keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2.
Petunjuk mengenai
akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila
yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual
ataukolektif.
3.
Petunjuk mengenal
syariat dan hokum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikut
ioleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
BAB V
HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM YANG KE DUA
A.
Defenisi Hadits
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan.
Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah
pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits,hadits yaitu apa yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapannya (Arab: taqrîr),
sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah)
dan terkadang juga sebelumnya.
B. Fungsi Hadits
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua,
adalah menguraikan segala sesuatu yang disampaikan dalam Al-Qur`an secara
global, samar dan singkat. Dengan demikian Al-Qur`an dan hadits menjadi satu
kesatuan pedoman bagi umat Islam.
C.
Struktur hadits
Secara
struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai
penutur) dan matan (redaksi)
Ø
Sanad
Sanad
ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh
penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab
hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu
riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan
adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah >
Anas > Nabi Muhammad SAW
Ø
Matan
Matan
ialah redaksi dari hadits.
D.
Klasifikasi hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa
kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur
(periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits
bersangkutan).
Ø
Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan
klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat),
mauquf (terhenti) dan maqtu' .
Ø
Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan
klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad,
Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah
setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk
mendengar dari penutur di atasnya.
Ilustrasi
sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2
(tabi'in) > penutur 1(Para sahabat)
> Rasulullah
SAW
Ø
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah
penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad,
atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut.
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits
Ahad.
Ø
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi
tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan
kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut.
Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, da'if dan maudu'.
- Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi
penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
- Sanadnya
bersambung;
- Diriwayatkan
oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik,
tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
- Matannya
tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab
tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits.
- Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna
ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
- Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung
(dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya,
mengandung kejanggalan atau cacat.
- Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam
rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
E. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam
Yang Ke Dua
Seluruh
umat islam, baik yang ahli naqli ataupun yang ahli akal telah sepakat bahwa
hadits merupakan dasar hukum islam, yang merupakan salah satu dari sumber hukum
islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Quran.
Banyak
ayat Al-Quran dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan
salah satu sumber hukum islam selain Al-quran yang wajib diikuti sebagaimana
mengikuti al-quran, baik dalam bentuk awamir ataupun nawaminya.
F. Perbedaan Antara Al-Qur’an dan Al-Hadist
Sebagai Sumber Hukum
Sekalipun Al-Qur’an dan As-Sunnah / Al-Hadist sama-sama
sebagai sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat
perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil,
perbedaan-perbedaan tersebut antaralain ialah:
·
Al-Qur’an nilai
kebenarannya adalah qath’i(pasti atau absolut) sedangkan
Al-Hadist adalah dzanni / nisbi (mengandung dugaan kecuali
hadist mutawatir );
·
Seluruh ayat Al-Qur’an
mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak
semua hadist mesti di jadikan sebagai pedoman hidup.Disamping ada hadist yang shahih ada pula hadist yang
dha’if danseterusnya;
·
Al-Qur’an sudah tentu
autentik lafadz dan makanannya, sedangkanhadist tidak semuanya
autentik.Apabila Al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah Aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap muslim wajib
mengimaninya.Tetapi tidakharus demikian apabila masalah-masalah tersebut
diungkapkan olehhadist.
BAB
VI
ISLAM
SEBAGAI DIENULLAH
A. Konsepsi
Islam tentang Ilmu
Kata ilmu dalam bahasa Arab berarti
pengetahuan dalam arti amat luas. Kata ilmu sering disama-artikan dengan kata
al-ma'arif, asy-syu’ur, walaupun sebenarnya terdapat sejumlah perbedaan
mencolok dalam penggunaan.
Islam adalah peristilahan Al-Qur’an. Karena
itu, makna agama dalam kaitan Islam harus dijabarkan sesuai dengan konsepsi
Al-Qur’an, bukan dengan konsepsi lain karena bisa menjadi berbeda sekali makna
dan ruang lingkupnya.
Arti Dienullah pada hakekatnya adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan sistem ciptaan Allah. Termasuk di dalamnya adalah
kaidah-kaidah Allah yang melekat dalam sistem tersebut. Kalau Dienullah
dihubungkan dengan kehidupan manusia, maka Dienullah menyangkut segala sesuatu
yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia dengan lingkungannya,
dalam arti lingkungan luas. Keempat, penggambaran pandangan Islam tentang
kehidupan bisa disajikan sebagai berikut:
Kelima, pada setiap ciptaan Allah, baik yang
empirik maupun non-empirik terkandung Sunnatullah (ketetapan Allah).
Sunnatullah yang terdapat pada setiap ciptaan tersebut bisa bersifat struktural
maupun fungsional. Ketetapan struktural adalah karakteristik struktural suatu
ciptaan, baik struktur dasar maupun struktur rinci. Ketetapan fungsionai adalah
ciri peran agau kegunaan dan antar-hubungan di antara ciptaan-ciptaan tersebut,
baik yang bersifat dasar maupun rinci.
Pencermatan terhadap ragam objek ilmu yang
tidak lain adalah ragam ciptaan Allah, maka Sunnatullah bisa digolongkan
sebagai berikut:
Akhirnya, menempatkan A1-Qur'an sebagai
sumber segala Sunnatullah berarti menerima tuntutan untuk menjadikannya sebagai
rujukan utama (principal reference) dalam setiap upaya penelaahan, penjelajaan,
dan penggalian rahasia hidup dan kehidupan, termasuk di dalamnya adalah rahasia
alam semesta dan diri manusia sendiri. Berdasarkan konsepsi Islam atas ilmu,
yang tidak terbatas pada science, berikut akan disajikan landasan ontologi,
epistemologi dan aksiologi ilmu Islam.
B. Landasan
Ontologi Ilmu Islam
Teori pertama dikenal dengan realisme.
Sejalan dengan namanya, teori ini berupaya memandang secara realistis terhadap
setiap fenomena. Menurut teori ini, sebagai sekumpulan pengetahuan, ilmu
merupakan gambaran yang benar dari alam nyata.
Teori
kedua disebut idealisme. Menurut idealisme, gambaran yang benar yang tepat
sesuai dengan kenyataan sebagimana diteorikan oleh realisme merupakan sesuatu
yang mustahil, sesuatu yang tidak mungkin.
C.
Landasan Epistemologi Ilmu Islami
Penelaahan
landasan epistemologi ilmu dimaksudkan untuk memberikan kejelasan mengenai
persoalan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan. Karena itu,
epistemologi ilmu bersangkut-paut dengan prosedur dan proses yang memungkinkan
seseorang memperoleh ilmu. Lebih jauh, epistemologi membahas tidak hanya
cara-cara yang benar untuk memperoleh ilmu, tetapi juga mempersoalkan konsep
dan kriteria kebenaran keilmuan. Dengan mempertimbangkan bahwa selama ini sudah
berkembang epistemologi yang bertolak dari kaidah pemisahan antara kebenaran
”ilmiah” dan kebenaran ”agama” (secular) maka tidak bisa dihindari, bagian ini
juga menyandingkan dan membandingkan antara paradigma sekularis dengan
paradigma Islam.
Lazim
diterima bahwa pengetahuan merupakan istilah umum (general term) yang mencakup
segenap bentuk pengetahuan, maka secara garis besar pengetahuan dapat
digolongkan menjadi tiga kategori utama yaitu: (1) pengetahuan tentang apa yang
baik dan apa yang buruk (ethics), (2) pengetahuan tentang apa yang indah dan
apa yang jelek (esthetics), dan (3) pengetahuan tentang apa yang benar dan apa
yang salah (logics).
1. Asumsi
Dasar Keilmuan Islam
Asumsi
dasar pertama epistemologi keilmuan Islam berkenaan dengan prinsip ketauhidan.
Pengakuan terhadap kemaha-esaan Allah merupakan prinsip paling dasar dalam
agama Islam. Prinsip tauhid itu merupakan prinsip bahwa Allah tunggal secara
mutlak, dan secara metafisis dan aksiologis adalah Yang Maha Esa dan Maha
Pencipta.
Ø Tiada wujud tanpa Engkau
Ø Semua wujud dari Engkau
Ø Tiada kuasa tanpa Engkau
Ø Semua kuasa dari Engkau
Ø Tiada mungkin tanpa ijin-Mu
Ø Semua mungkin karena titah-Mu
2. Metodologi
Keilmuan Islam
Sekurang-kurangnya ada tiga cara yang
ditunjukkan dalam Al-Qur’an tentang bagaimana manusia bisa memperoleh
pengetahuan, yakni: (a) melalui kegiatan indra, (b) melalui pemikiran akal, dan
(c) melalui penerimaan wahyu. Dua yang pcrtama telah diakui dalam kerangka
epistemologi keilmuan sekuler, tetapi cara yang terakhir hanya diakui dalam
kerangka epistemologi Islam. Dan urutan penyebutannya menunjukkan urutan
tingkatan dan derajat keilmuan dalam Islam. Al-Qur’an menyebutkan awal mula
pengetahuan adalah melalui pengamatan indrawi.
Betapapun tinggi pengetahuan akal
dibandingkan dengan pengetahuan indra, akal juga dapat jatuh ke dalam
kekeliruan-kekeliruan, dan dengan demikian tidak membawa kepada pengetahuan
yang benar. Selain karena keterbatasan akal sendiri, ada pula beberapa faktor
yang mengacaukan akal, sehingga jatuh ke dalam kekeliruan-kekeliruan yang
fatal. Karena itu berlaku prinsip bahwa penalaran yang paling rasional adalah
yang menyadari keterbatasan penalaran rasional. karena itu, wahyu merupakan
bagian dari khasanah keilmuan Islam. Bila diletakkan kembali dalam kerangka
kebenaran ilmu Allah yang bersifat mutlaq, maka pengetahuan wahyu mempunyai
tingkat kebe¬naran tertinggi.
D. Landasan
Aksiologi Ilmu Islam
Sebagaimana
diuraikan di atas, landasan aksiologi mempertanyakan, untuk apa ilmu itu
dipergunakan. Ini menyangkut nilai kegunaan ilmu. Di antara pandangan Islam
terhadap nilai ilmu adalah:
1. ilmu
pengetahuan merupakan usaha bersama untuk mengenal tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan, hanya orang-orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang dapat mengenal dan mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah.
2. Ilmu pengetahuan berusaha menemukan
keteraturan alam dan tujuan di balik keteraturan itu. Banyak ayat Al-Qur’an
yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan
sangat teratur dan dalam keadaan seimbang.
3. Ilmu pengetahuan dikembangkan atas dasar
manfaat dan pengabdian kepada Allah. Menurut Islam, ilmu harus dikembangkan
dalam rangka untuk mengabdi kepada Allah dalam pengertian yang luas.
BAB
VII
AKAL
DAN FUNGSINYA MEMAHAMI ISLAM
1. Pengertian akal
Akal adalah suatu peralatan
rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah
dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung
luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari
manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan
rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis,
menilai apakah sesuai benar atau salah.Namun, karena kemampuan manusia dalam
menyerap pengalaman dan pendidikan tidak sama. Maka tidak ada kemampuan akal
antar manusia yang betul-betul sama.
2.
Kejahilan
Akal adalah lawan dari jahl (kebodohan
atau kejahilan). Keduanya berlawanan dalam segala tahapnya : ontologis,
epistemologis, dan aksiologisnya. Meski kejahilan mempunyai semacam eksistensi
subyektif dan refleksif, tapi ia tidak memberi efek-efek obyektif dan aktual.
Seperti halnya eksistensi warna dalam cahaya. Pada hakikatnya, warna tidak
memiliki eksistensi obyektif di alam cahaya.
Eksistensi
dan Pengetahuan
Pernyataan "aku mengetahui sesuatu"
pasti mempraanggapkan kenyataan adanya hubungan refleksif antara pengetahuan
dan eksistensi subyek yang mengetahui. Refleksifitas adalah relasi yang
mengandung pasangan (a,a,) untuk setiap aÎ A. Kategori eksistensi dan
pengetahuan yang tampak berbeda itu, tidaklah dapat dipisahkan dalam perspektif
ontologisnya. Mengetahui adalah tingkatan tertentu dari mengada.
Singkat kata, eksistensi pengetahuan adalah hubungan subyek yang mengetahui
dengan obyek yang diketahui.
Pembahasan
seputar makna kesatuan obyek dan subyek pengetahuan dalam bahasa filsafat Islam
disebut kaidah ittihad al-‘aqil wal ma’qul. Secara istilah, akal
digunakan untuk menunjukkan salah satu definisi berikut ini:
1. Kemampuan untuk
mengetahui sesuatu.
2. Kemampuan memilah-milah
antara kebaikan dan keburukan yang niscaya juga dapat digunakan untuk
mengetahui hal-ihwal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat
mencegah terjadinya masing-masing dari keduanya.
3. Kemampuan dan keadaan (halah)
dalam jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan keuntungan dan menjauhi
kejelekan dan kerugian.
4. Kemampuan yang bisa
mengatur perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia sejalan dengan hukum dan
dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap baik oleh syariat, maka itu adalah
akal budi. Namun, manakala ia menjadi sesuatu yang mbalelo dan menentang
syariat, maka ia disebut nakra` atau syaithanah.
5. Akal juga dapat dipakai
untuk menyebut tingkat kesiapan dan potensialitas jiwa dalam menerima
konsep-konsep universal.
6. Dalam bahasa filsafat,
akal merujuk kepada substansi azali yang tidak bersentuhan dengan alam
material, baik secara esensial (dzaty) maupun aktual (fi’ly).
Dan Alquran yang merupakan tajally
yang paling sempurna dari haqiqah muhammadiyyah (hakikat ke-Muhammad-an)
dapat pula memainkan peran yang sama. Inilah metode penggabungan sisi intelektual,
rasional, dan teoretis manusia atau masyarakat dengan sisi individual, sosial,
dan praktisnya dalam pandangan-dunia Islam. Pandangan-dunia Islam menggunakan
metode ini untuk membangun infrastruktur (rasio), struktur (masyarakat), dan
suprastruktur (pemerintahan) sosial kemasyarakatan.
3.
Kedudukan Akal Dalam Islam
Berikut ini sekilas mengenai akal dan betapa pentingnya
akal dalam beragama. Lawan dari akal adalah jahl, atau sering pula diistilahkan
dengan hawa nafsu. Kita semua tahu, ditinjau dari keberadaan akal dan nafsu,
mahluk2 yang Allah karuniai kemampuan berpikir itu ada tiga jenis: malaikat,
yang dikaruniai akal saja, tanpa nafsu; hewan, yang hanya dikaruniai nafsu,
tanpa akal; dan manusia dan jin, yang Allah swt karuniai akal maupun nafsu.
4. Agama Adalah Akal
Dalam ensiklopedia ini kami petikkan sebuah hadits yang
biasa digunakan orang dan masyhur menunjukkan keutamaan akal dan pikiran.
Namun, kebanyakan orang tidak mengenal kepalsuan hadits tersebut.
5. Fungsi Ilmu, Akal Dan Wahyu Sebagai
Citra Diri Intelektual Muslim
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan
Allah mempunyai banyak kelebihan jika dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk
ciptaan Allah yang lainnya.Satu hal yang membuat manusia lebih baik dari
mahkluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia
dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga dengannya manusia mampu memilih,
mempertimbangkan, menentukan jalan pikirannya sendiri. Agama Islam sangat
menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal manusia mampu memahami
al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dengan akal juga
manusia mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa lampau.
Dalam al-Qur’an dengan jelas Allah SWT menjelaskan
bahwa tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Salah
satu ayat yang menyataka hal tersebut adalah terdapat dalam S. Az-Zummar : 9
yang penggalannya yang artinya”…Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zummar: 9)
Dari
ayat itu, wajar jika kemudian kita temukan banyak Hadist yang berisi perintah
untuk manuntut ilmu. Lebih dari itu bagi Islam menuntut Ilmu adalah satu
kewajian pokok yang harus dilakukan oleh umat, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.
BAB VIII
METODE MEMPELAJARI ISLAM
Sejak kedatangan Islam abad ke-13 hingga
saat ini, pemahaman tentang ke-Islaman umat Islam di Indonesia sangat variatif.
Keadaan ini juga terjadi pada negara lain. Gejala seperti ini apakah memang
sudah alami yang menjadi sebuah kenyataan untuk bisa diambil hikmahnya, ataukah
diperlukan standart umum untuk bisa mengetahui keadaan yang variatif seperti
ini. Sehingga sesuatu yang variatif ini tidak keluar dari ajaran yang tekandung
dalam al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga tidak akan keluar dari keabsahannya.
Adanya sejumlah orang yang pengetahuan
tentang ke-Islamannya cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan
tidak tersusun secara sistemik. Karena orang tidak menerima Islam secara
sistemik maka antara guru satu dengan yang lainnya tidak akan pernah ketemu
karena tidak sebuah silabus yang mengacu menjadi satu kesatuan.
A. Beberapa
Pendapat Tentang Islam
Ada dua sisi yang dapat digunakan untuk
memahami pengertian Agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan.
Kebahasaan Islam dari bahasa Arab salima
selamat, sentosa dan damai. Kemudian Aslama berserah diri masuk dalam
kedamaian.
Kata السـلم yang dalam ayat diatas
diterjemahkan kedamaian atas Islam, makna dasarnya adalah damai atau tidak
mengganggu. Harun Nasution: Islam sebagai agama adalah agama yang
ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi
Muhammad sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan
hanya satu segi, tetapi mengenai beberapa segi dari kehidupan manusia.
Orientalis : islam sering di identikkan dengan Mohammadanism dan Mohammedan.
Peristilahan ini disamakan pada umumnya agama diluar Islam yang namanya
disandarkan kepada nama pendirinya.
Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasul-Nya
berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia, manusia dengan alam semesta.
B. Metode Memahami dan Mempelajari Islam
Ada
berbagai cara memahami dan mempelajari Islam:
1)
Dengan
mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama lain.
2)
Dengan
mempelajari Kitab suci Al-Qur’an dan membandingkan dengan kitab-kitab samawi
(atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainnya.
3)
Mempelajari
kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar
pembahruan yang pernah hidup dalam sejarah.
4)
Mempelajari
tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkan tokoh-tokoh utama agama maupun
aliran-aliran pemikiran lain.
C. Akibat
Yang Timbul Dari Pemahaman Islam
Perjalanan Islam samapi kini telah
melampui kurun waktu lima belas abad dan dipeluk oleh manusia diseluruh penjuru
dunia. Pemikiran Islam dapat diibaratkan dengan sebagai sungai yang besar dan
panjang. Wajar jika sumber mata airnya yang semula bening dan jernih serta
mengalir pada alur sempit dan deras dalam perjalanannya menuju muara kian
melebar, berliku-liku dan bercabang-cabang. Airnya kian pekat karena mengangkut
pula lumpur dan sampah. Geraknyapun menjadi lamban.
Pencampuradukkan antara Islam sebagai
agama dan Islam sebagai rangka historis bagi pengembangan budaya dan peradaban
telah dilanggengkan dan pernah berkembang lebih kompleks hingga hari ini. Namun
demikian, masyarakat-masyarakat Islam harus dikaji dalam dan untuk diri
sendiri.
Mempelajari Islam dengan metode ilmiah
saja tidak cukup, karena metode dan pendekatan dalam memahami Islam yang
demikian itu masih perlu dilengkapi dengan metode yang bersifat teologis dan
normatif.
Tidak jarang terjadi kesalahan dalam
upaya memahami Islam, sehingga berdampak pada kesalahan sikap dalam ber-Islam
ataupun dalam menyikapi Islam. Kesalahan dalam upaya memahami Islam ini
bersumber pada beberapa hal, diantaranya: Pengambilan sumber yang salah, cara
memahami yang salah, pemahaman yang parsial, atau memahami Islam dari prilaku
orang-orangnya, bukan dari sumbernya, dll.
Islam dari Allah. Sumber ajarannya juga
dari Allah. Maka sumber ajaran Islam adalah wahyu dari Allah, yaitu Al-Qur`an
dan As-Sunnah.
Kesalahan utama dalam upaya memahami
Islam kadang terletak pada pijakannya. Mengambil pijakan yang salah, maka
hasilnya-pun bisa salah. Seandainya-pun betul, maka hanya merupakan suatu
kebetulan. Diantara kesalahan dalam mengambil sumber hujjah ini adalah:
1)
Berhujjah
dengan hadits lemah dan palsu
Kesalahan
yang sering terjadi dalam hal ini adalah mengambil hujjah (dalil) dengan
hadits-hadits lemah dan palsu. Sebagian mungkin berpendapat bahwa berhujjah
dengan hadits lemah dan palsu dalam fadha`il al-a’mal tidak mengapa selama
tidak menyangkut masalah i’tikad, Namun masalah ini juga bisa melahirkan
kesalahan dalam beragama.
2)
Fanatisme,
sehingga mengedepankan perkataan tokoh mazhabnya
Fanatisme
pada mazhab atau pada orang tertentu juga berdampak dalam hal ini. Orang kadang
lebih suka berhujjah dengan apa kata gurunya, kiyainya, bahkan apa kata
orang-orang dulu (nenek moyang).
D. Metode Pembelajaran Islam
Selain metode dalam memahami dan mempelajari islam,
terdapat pula metode pembalajarannya. Dalam proses pendidikan Islam, metode
mempunyai kedudukan yang penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan
karena dengan metode akan menjadi sarana yang bermakna dan faktor yang akan
mengefektifkan pelaksanaan pendidikan.
Apabila metode dipandang sebagai alat untuk mencapai
tujuan pendidikan, maka metode mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat
polipragmatis dan monopragmatis. Bersifat polipragmatis bilamana metode
menggunakan kegunaan yang serba ganda (multipurpose), misalnya suatu metode
tertentu pada situasi-situasi tertentu dapat digunakan untuk merusak dan pada
kondisi yang lain bisa digunakan membangun dan mengimplikasi bersifat
konsisten, sistematis. Mengingat sasaran metode adalah manusia, sehingga
pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.
Macam-macam metode pembelajaran Islam
Arma’i Arif menjelaskan tentang metode-metode yang dapat
dipakai dalam pembelajaran pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1)
Metode ceramah
2)
Metode Tanya Jawab
3)
Metode Diskusi
4)
Metode Demontrasi Dan Eksperimen
BAB IX
SEJARAH MUHAMMADIYAH
Bulan Dzulhijjah (8
Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum
penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis
terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian
sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia.
Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa
pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri
Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara
bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah”
dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad,
dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah
memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia
sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar
itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan
Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari
gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis)
yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan
bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan
benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan
setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti
Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas
Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan
atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih
ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi,
Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi
konservatif.
Embrio kelahiran
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan
gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan
dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai
Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan
saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai
mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang
ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan
tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat
kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari
UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat
dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang
Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu
Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat
istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah
memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia
pesantren.
Gagasan untuk mendirikan
organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan
pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara
praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut
merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam
menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam
memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di
beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun
1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”,
yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada
umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung
milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang
mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18
November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di
Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”.
Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan
mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama,
tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22
Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi
yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak
mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu
ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya
”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2),
ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu
‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan
b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Mula-mula ajaran ini
ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan
dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung
ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung
Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir
kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini
Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan
pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada
kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha".
Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam
hari untuk anak-anak yang telah dewasa.Dalam usaha mendapatkan pengakuan kepala
pemerintah sebagai badan hukum, pada tanggal 20 Desember 1912, Muhammadiyah
dibantu oleh Budi Utomo mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda agar Muhammadiyah diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu
badan hukum. Untuk itu Gubernur Jenderal mengirimkan surat permintaan
pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken,
Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI.Setelah melalui proses
yang cukup lama, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah
sebagai badan hukum yang tertua dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus
1914, Nomor 81, beserta lampiran statutennya dan berlaku mulai 22/23 Januari
1915.
Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan
ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum
muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan
diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal
sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek
School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin _khusus
laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu'allimaat
Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
Pada masa kepemimpinan
Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di
karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan
Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang
Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925,
Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka
cabang di Sungai Batang, Agama.Dalam
tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke
seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak
ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah
telah tersebar keseluruh Indonesia.Terdapat pula organisasi khusus wanita
bernama Aisyiyah.
KH A Dahlan memimpin
Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih
menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11,
Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
1.Visi
dan misi Muhammadiyah
Pendidikan menempati posisi strategis dalam rangka
mencerdaskan umat islam bangsa Indonesia. Untuk itu, agar maksud dan tujuan
tersebut tercapai maka harus memiliki visi dan misi.
Visi pendidikan Muhammadiyah adalah
pengembangan intelektual peserta didik pada setiap jenis dan jenjang pendidikan
yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyah. Sedangkan misi pendidikan
Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam melalui dakwah
islam amar ma’ruf nahi munkar di semua aspek kehidupan.
2.Tujuan Muhammadiyah
Setiap tujuan pendidikan Muhammadiyah selalu
berhubungan dengan pandangan hidup yang dianut Muhammadiyah. Tujuan umum
pendidikan Muhammadiyah secara resmi baru dirumuskan pada tahun 1936 saat
kongres Muhammadiyah di Betawi. Dalam kongres tersebut tujuan Muhammadiyah
dirumuskan sebagai berikut:
1.
mengiringi anak-anak Indonesia menjadi orang
islam yang berkobar-kobar semangatnya.
2.
badannya sehat, tegap bekerja.
3.
hidup tangannya mencari rezeki sendiri,
sehingga kesemuanya itu memberi faedah yang besar dan berharga hingga bagi
badannya dan juga masyarakat hidup bersama.
Sebenarnya tujuan pendidikan Muhammadiyah
sudah ada bersama dengan lahirnya pergerakan Muhammadiyah. Amir Hamzah
mengungkapkan bahwa pendidikan Muhammadiyah menurut Ahmad Dahlan antara lain:
a.
baik
budi, alim dalam agama.
b.
luas
pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia.
c.
bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar